Mendengar Cerita “Sampah di Laut, Meira” dari Mawan Belgia

Table of Contents
Mendengar Cerita “Sampah di Laut, Meira” dari Mawan Belgia


Judul: Sampah di Laut Meira

Penulis: Mawan Belgia

Cetakan: Pertama, April 2020

Penerbit: Buku Mojok

ISBN : 978-623-7284-32-1

 

Sebelum ke bukunya, yuk, kita menengok sekitar kita dulu.

Lingkungan yang kita tinggali, dan sebagian besar aktifitas dalam hidup kita yang penuh dengan keberadaan sebuah plastik. Mulai dari yang bebentuk botol, kantung kresek, maupun wadah-wadah (kerap disebut) “atom”. Wadah plastik tersebut menjadi barang umum di masyarakat pengganti kaca, yang mudah pecah. Plastik dianggap sebagai bahan paling terjangkau, lebih irit. Plastik bagi kehidupan manusia sudah seperti pakaian yang melekat setiap saat. Plastik jadi trobosan paling praktis tinimbang bahan-bahan lain. Plastik adalah bagian dari kehidupan manusia.

Namun, seorang Mawan Belgia (dia asli Indonesia) mencoba menerka kehidupan yang dijalani benda-benda plastik tersebut, yang mana bagi manusia mereka bagian penting dari sebuah kehidupan, tanpa disadari.

Sebuah novel terbitan Mojok berjudul “Sampah di Laut, Meira” karya Mawan ini mencoba  memverbalkan perasaan sampah-sampah plastik yang menjalani sebagian kecil perjalanan hidupnya, sebelum kehidupanya benar-benar habis terurai. Kisah ini dimulai dari sebuah toko kelontong kecil yang salah satu penghuninya yaitu botol minuman bersoda menyegarkan dan bermerek terkenal, ia diberi nama “Cola”. Botol minuman ini yang akan membawa pembaca dalam perjalanan kehidupan sampah-sampah yang dihasilkan manusia.

“Cola” yang menjalani kehidupannya bersama manusia hanya sejenak, tak menghalangi pengetahuan, dan rasa ingin tahunya terhadap manusia dan dunia. Pengembaraannya dimulai setelah ia banyak mendapatkan banyak kawan dari berbagai golongan. Berkawan dengan rumput, dengan angin, juga dengan sesama sampah plastik maupun calon sampah. Perjalannya banyak obrolan menarik yang mampu membangkitkan perenungan bagi kita sebagai manusia. Botol Plastik yang bangga atas dirinya adalah benda bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun setelah selesai mereka hanya ditelantarkan begitu saja. Lebih menyedihkan lagi mereka menjadi olok-olokan sesama sampah yang mudah terurai.

Di dekat saya berserakan daun-daun kering, sudah cabik.”Dasar sampah plastik!” umpat salahsatu dari mereka, mukanya betul-betul tidak mengenakkan ditatap.

“Kaulah yang merusak lingkungan yang ada di bumi, wahai sampah! Dasar Limbah!” tambahnya lagi.

Saya heran dan berkata, “Kau menyebutku sampah ?”

“Iya, Kau memang sampah. Sampah plastik. Dasar Limbah! Perusak Lingkungan!” serunya keras.

Lagi-lagi sampah plastik direndahkan kawan-kawannya, dalam adegan lain memperlihakan perbincangan cola dengan rumput hijau.

“Kalau jenis sampah yang sulit terurai seperti saya, bagaimana ?”

“Tentu berbeda, kalian adalah limbah. Kecenderungan kalian merusak lingkungan. Sungai meluap karena ulah kalian dan lautan tercemar mengakibatkan kerusakan habitat laut. Kalian butuh waktu lama agar benar-benar bisa terurai dari kehidupan di dunia ini”

“Oh, saya tidak pernah menduga pada akhirnya saya akan seperti itu. Benar-benar Perusak”.

Karakter-karakter di buku ini begitu memperlihatkan kita pada lingkungan. Seperti gambaran kebiasaan sampah-sampah jalanan yang sering batuk, menggambarkan sebegitu padatnya polusi di muka bumi. Mereka yang (jika saja benar) berperasaan, bakal saling menuduh-hinakan satu sama lain hingga pada akhirnya tahu yang mereka sebabkan tak luput dari ulah manusia. Merekapun hanya dapat diam, pasrah pada pemilik alam dan menaruh jengkel pada manusia.

Dalam buku ini, perasaan sampah plastik diverbalkan lalu dituangkan melalui dialog-dialog dalam cerita yang bagus. Selain imajinasi penulis, juga alur cerita yang mempertemukan Cola dengan kawan-kawannya juga bukan suatu “kebetulan”, dan ini menjadi salah satu indikator bahwa karya ini berkualitas. Seperti komentar bapak Hairus Salim HS dalam ulasannya terhadap karya sastra yang menyebutkan bahwa sesuai prespektif kesusastraan modern, “kebetulan “ dalam kuatu karya sastra adalah suatu keburukan.

Namun begitu, Sesuai petunjuk cover belakang novel “Fiksi 17+” maka novel ini perlu dicerna dahulu dengan lebih mengedepankan otak bagian kanan, sebelum ditelan bulat-bulat. Beberapa kata ejekan yang dikeluarkan oleh karakter sampah tidak cocok untuk perkembangan verbal anak. Juga karena adanya beberapa bagian tentang penyimpangan sosial. Luar dari itu, novel ini bagus sebagai refleksi diri dan untuk lingkungan sekitar.

Resensator : Ms

Posting Komentar