Fikih Sosial Sebagai Kompas Baru: Menerobos Fanatisme Dan Mengkritisi Stagnasi Ideologi IPNU IPPNU Oleh M. Najmi Tsaqib Asrof

Table of Contents

Artikel Populer M. Najmi Tsaqib A.


I
PENDAHULUAN

“Krisis Arah dan Kebutuhan Kompas”

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) bukanlah sekadar organisasi pelajar. Keduanya adalah rahim intelektual dan kawah candradimuka bagi kaderisasi kepemimpinan masa depan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dengan basis massa yang menjangkau jutaan pelajar, mahasiswa bahkan santri, IPNU IPPNU memegang posisi strategis yang tak tergantikan, terutama dalam menghadapi era bonus demografi dan perubahan era digital yang semakin capat dan signifikan.

Namun, di tengah potensi raksasa tersebut, sebuah paradoks dan dualisme sedang terjadi. Organisasi yang seharusnya menjadi garda terdepan inovasi pemikiran dan gerakan sosial ini, justru sering terlihat berjalan di tempat atau bahkan bisa dikatakan stagnan. Ada sebuah tesis yang perlu diajukan dengan jujur dan terukur yaitu IPNU IPPNU hari ini berada di persimpangan yang sangat gawat atau krusial antara loyalitas tradisi yang kaku dan tuntutan adaptasi zaman yang mendesak.

Ada gejala stagnasi ideologi dan kekakuan berpikir yang mengkhawatirkan. Loyalitas seringkali dimaknai sebatas kepatuhan simbolik, bukan sebagai daya dorong kritis. Akibatnya, organisasi ini terancam kehilangan relevansinya, menjadi besar secara kuantitas namun rapuh secara kualitas gagasan. Ketika dunia bergerak begitu cepat dengan isu-isu baru—mulai dari krisis iklim, kesehatan mental, hingga kecerdasan buatan—IPNU IPPNU masih sering terjebak dalam rutinitas yang gitu-gitu aja.

Artikel ini bukanlah sebuah gugatan mendasar, melainkan sebuah refleksi kritis-membangun. Kita tidak sedang mencari siapa yang salah, tetapi apa yang salah dalam sistem dan kerangka berpikir kita. Untuk membedah ini, kita membutuhkan kompas baru yang mampu memandu arah di tengah kabut stagnasi kita. Kompas itu adalah Fikih Sosial (Fiqh al-Ijtima’i), sebuah warisan metodologis agung dari KH. M. A. Sahal Mahfudh. Fikih Sosial menawarkan jalan untuk menerobos fanatisme, mengkritisi stagnasi, dan merumuskan kembali ideologi gerakan yang lebih efektif dan efisien.


II
DIAGNOSA KRITIS

“Tiga Dinding Penghalang Gerakan”

Sebelum menawarkan solusi, kita harus berani melakukan diagnosa jujur terhadap "penyakit" yang menggerogoti tubuh berkembangnya sebuah organisasi. Setidaknya ada tiga dinding penghalang utama yang membuat IPNU IPPNU sulit bergerak secara progresif, yang kesemuanya sangat berkaitan sekali.


A. Dinding Pertama: Fanatisme dan Kekakuan Berpikir

Kritik pertama dan paling mendasar adalah ideologi pemikiran yang terlalu fanatik terhadap organisasi NU yang masih gitu-gitu aja. Fanatisme ini menjelma dalam bentuk "ashabiyah" (solidaritas sebuah kelompok yang didasarkan pada sebuah ikatan) organisasi yang berlebihan. Sikap ini melahirkan kader yang bangga dengan simbol, namun miskin dalam substansi. Ke-NU-an dimaknai sebagai doktrin final yang tidak perlu diinterpretasi (ditafsirkan) ulang sesuai konteks.

Ironisnya, sikap ini bertentangan dengan semangat para pendiri NU seperti Hadratussyekh KH. Hasyim Asy'ari yang sangat dinamis dalam merespons zamannya. Dampak langsung dari fanatisme ini adalah kurangnya ideologi dalam berpikir lebih baik dan teratur. Kader diajarkan untuk taqlid pada senior dan struktur, bukan didorong untuk ijtihad organisasi. Pemikiran yang berbeda atau kritis seringkali dicap sebagai "tidak loyal" atau "bukan NU". Akibatnya, IPNU IPPNU gagal melahirkan pemikir-pemikir baru yang segar, karena ruang berpikirnya telah dibonsai atau diframing oleh kekakuan itu sendiri.


B. Dinding Kedua: Stagnasi Program Kerja (Eforia Seremonial)

Dinding kedua adalah manifestasi dari kekakuan berpikir yaitu terlalu banyaknya program kerja yang bersifat seremonial. Rapat kerja (Raker) di berbagai tingkatan seringkali berakhir menjadi ajang "copy-paste" program kerja tahun sebelumnya, dengan penekanan pada acara yang meriah, terlihat sibuk, dan menghabiskan anggaran. Pelantikan, harlah, seminar akbar, dan pengajian massal menjadi primadona yang tidak memiliki kualitas secara berkelanjutan.

Bukan berarti seremonial itu haram, tetapi ia menjadi masalah ketika menempati porsi 90% dari energi sebuah organisasi. Konsekuensi logisnya adalah Minimnya program kerja yang bersifat literasi dan pengembangan pemikiran yang bersifat kritis. Program yang substantif seperti kajian metodologi pemikiran, diskusi ilmiyah, riset sosial, advokasi kebijakan, atau lokakarya literasi digital malah menjadi kalah pamor. Mengapa? Karena program seremonial itu mudah diukur, cepat terlihat hasilnya (dalam bentuk foto dan aplaus), sementara program literasi dampaknya jangka panjang dan tak terlihat secara instan. Inilah yang disebut stagnasi dalam sistem organisasi “sibuk bekerja, tapi tidak menghasilkan kemajuan”.


C. Dinding Ketiga: Isolasi dan Anti-Kritik

Kombinasi dari fanatisme ideologi dan kenyamanan dalam zona seremonial menciptakan dinding ketiga: isolasi dan kelumpuhan daya kritis. Organisasi menjadi kurang kritis dalam menanggapi hal yang berada di internal maupun eksternal.

Secara internal, kritik dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai vitamin dalam pengembangan organisasi. Kadang kala Evaluasi Program Kerja seringkali hanya berjalan formalitas saja.

Secara eksternal, IPNU IPPNU gagap merespons isu-isu sosial yang kompleks. Ketika ada isu rasisme, perundungan siber, atau ketimpangan ekonomi, organisasi malah seringkali diam atau terlambat dalam merespons. Inilah bukti bahwa organisasi ini belum bisa beradaptasi dengan lingkungan dan zaman. IPNU IPPNU terisolasi dalam "gelembung" internalnya sendiri “merasa nyaman dengan dunianya, sementara dunia di luar telah berubah secara drastis”.


III
FIKIH SOSIAL SEBAGAI KOMPAS BARU

“Menuju Ideologi Progresif”

Tiga dinding penghalang tersebut tidak dapat dirobohkan dengan cara-cara lama. Kita memerlukan sebuah metodologi atau sebuah kerangka berpikir baru. Tujuannya adalah sebagai kompas dalam memandu organisasi ini. Di sinilah Fikih Sosial Kiai Sahal Mahfudh menemukan relevansinya yang paling puncak.


Kiai Sahal

Gambar 1. KH. M. A. Sahal Mahfudh: Sang Intelektual Ulung NU, Rais Aam Syuriah PBNU dan Ketua Umum MUI

Sumber gambar: https://liputanislam.com/kajian-islam/kyai-sahal-yang-toleran/


Fikih Sosial bukanlah produk fikih baru, akan tetapi sebuah metodologi (manhaj) untuk memfungsikan fikih sebagai alat rekayasa sosial dan solusi atas problem kemasyarakatan. Ia menggeser fokus dari Fiqh al-Fardhi (yang hanya berkutat pada urusan halal-haram individu) menjadi Fiqh al-Ijtima’i (yang berorientasi pada kemaslahatan publik).

A. Paradigma Mashlahah sebagai Alat Kritik Program

Bagaimana Fikih Sosial menjawab dominasi program seremonial? Dengan hanya satu kaidah emas: 

"تَصَرُّفُ الإمام عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ"

Artinya: Kebijakan seorang pemimpin/organisasi terhadap rakyat/anggotanya harus didasarkan pada kemaslahatan.

Selama ini, mashlahah (kemaslahatan) yang diukur dalam program IPNU IPPNU adalah mashlahah internal panitia saja atau bahkan mashlahah citra organisasi. Fikih Sosial menuntut kita bertanya: "Pelantikan megah ini mashlahah-nya untuk siapa? Untuk masyarakat atau hanya untuk ego organisasi?"

Dengan kompas ini, setiap program kerja sebelum disahkan harus disaring melewati "Audit Kemaslahatan". Apakah program literasi yang sepi peminat namun dampaknya mencerdaskan kader lebih mashlahah daripada seminar akbar yang ramai namun isinya menguap setelah acara selesai? Fikih Sosial akan tegas menjawab: utamakan yang pertama. Ini adalah jalan berpikir yang efektif, efisien dan berdampak besar di sistem organiasi.

B. Menerobos Fanatisme dengan Metodologi Kritis-Realistis

Bagaimana Fikih Sosial menjawab fanatisme dan kekakuan berpikir? Kiai Sahal mengajarkan bahwa Fikih harus dimulai dari realitas (al-Waqi'), baru kemudian dicarikan landasan normatifnya (an-Nash). Ini membalik logika kaum fanatik yang memaksakan teks pada realitas.


Kiai Sahal quotes

Gambar 2. Dawuh KH. M. A. Sahal Mahfudh

Sumber gambar: https://www.facebook.com/benuasabda/posts/kh-sahal-mahfudz-19372014-adalah-seorang-ulama-kharismatik-asal-kajen-pati-jawa-/1252575603547822/


Kiai Sahal, seperti dikutip dalam banyak karyanya, menekankan bahwa "Fikih harus mampu menjawab problematika sosial, bukan sekadar mengulang-ulang apa yang ada di kitab kuning tanpa konteks." Ini adalah tamparan keras bagi ideologi yang bersifat gitu-gitu aja.

Fikih Sosial memaksa kader IPNU IPPNU untuk turun ke lapangan, melakukan riset sosial, memetakan masalah (kemiskinan, putus sekolah, radikalisme digital), baru kemudian merumuskan program. Ideologi tidak akan lagi menjadi dogma kaku, akan tetapi menjadi metodologi berpikir yang teratur untuk mencari pananganan dan solusi. Loyalitas pada NU tidak lagi diwujudkan dengan memakai seragam saja, tetapi juga dengan bekerja paling keras menyelesaikan masalah sosial di lingkungan tertentu.

C. Adaptasi Organisasi Berbasis Prinsip Istishlah

Bagaimana Fikih Sosial menjawab kegagapan adaptasi argumen dan anti-kritik? Fikih Sosial pada intinya adalah gerakan istishlah (upaya perbaikan) yang dinamis. Ia menolak keadaan saat ini jika status quo (keadaan saat ini) itu tidak membawa kemaslahatan.

Ini memberikan legitimasi teologis yang kuat untuk melakukan kritik internal. Kritik internal dalam kacamata Fikih Sosial bukanlah pembangkangan, melainkan bagian dari amar ma'ruf nahi munkar dari organisasi untuk memastikan kemaslahatan tetap terjaga. Organisasi harus terbuka pada kritik eksternal sebagai input untuk memahami realitas yang sedang terjadi.

Gus Mus (KH. A. Mustofa Bisri) pernah berujar bahwa NU itu harus lentur, tidak kaku. Fikih Sosial Kiai Sahal adalah manifestasi dari kelenturan itu. Ia memungkinkan IPNU IPPNU untuk beradaptasi dengan isu-isu baru. Isu cyberbullying bisa dikaji, isu kesehatan mental pelajar bisa dicarikan solusinya atau yang lain dan semua harus didasarkan dengan alur manhaj Fikih Sosial.


IV
STRATEGI DAN AKSI NYATA

“Transformasi IPNU IPPNU”

Gagasan Fikih Sosial akan tetap menjadi utopia (konsep masyarakat ideal yang sempurna) saja apabila tidak diturunkan dalam langkah-langkah strategis yang efektif dan efisien. Berikut adalah tiga aksi nyata yang bisa segera diimplementasikan:


1. Reformasi Total Kurikulum Kaderisasi

Kaderisasi (MAKESTA, LAKMUD, LAKUT) adalah jantung organisasi. Saat ini, kurikulumnya terlalu berat pada aspek doktrinal-historis dan minim aspek metodologis-kritis.

  • Solusi Strategis: Rombak kurikulum. Kurangi porsi "Sejarah IPNU" atau "Ke-NU-an Normatif" menjadi 30%. Alokasikan 70% sisanya untuk materi "Metodologi Fikih Sosial", "Analisis Sosial (ANSOS)", "Manajemen Program Berbasis Mashlahah", "Diskusi Ilmiyah", dan "Literasi Kritis". Ganti metode ceramah dengan studi kasus. Berikan kader "pisau analisis" (seperti Fikih Sosial atau yang lain), bukan hanya daging matang atau doktrin jadi.


2. Implementasi Mashlahah-Based Planning 

    Hentikan tradisi "copy-paste" program kerja yang seremonial.

  • Solusi Strategis: Buat "Matriks Audit Kemaslahatan" (yaitu alat perencanaan dan evaluasi yang digunakan untuk memastikan bahwa suatu program dapat memberikan manfaat) yang wajib diisi saat pengajuan Rapat Kerja. Matriks ini berisi pertanyaan:
    • Apa masalah sosial yang ingin diselesaikan program ini? (Bukannya bertanya "Apa tema acaranya?")
    • Siapa penerima manfaat utamanya (Publik/Masyarakat/Kader)?
    • Apa indikator keberhasilan dampak-nya (Bukan: "Indikator sukses panitia")?
    • Apakah program ini lebih mashlahah daripada program alternatif (misal: advokasi atau literasi)?
    • Jika sebuah program tidak bisa menjawab ini, program tersebut harus ditolak atau didesain ulang. Ini akan secara paksa menggeser organisasi dari seremonial ke substansial.

3. Membangun "Mimbar Kritis" yang Terlembagakan

Kritik tidak boleh dibungkam atau hanya terjadi di warung kopi. Ia harus dilembagakan secara sehat.

  • Solusi Strategis: Ciptakan "Forum Kritis Internal" atau sebuah organisasi kecil yang rutin melakukan kritikan terhadap organisasi yang diadakan setiap bulan atau kalua mungkin setiap minggu (sebagai ajang diskusi). Forum ini bukan untuk saling menjatuhkan, tetapi untuk mengevaluasi kinerja struktur secara terbuka dengan basis data dan argumen Fikih Sosial yang kompleks. Ini melatih kader untuk berdebat berlandaskan dengan mashlahah, bukan berbasis sentimen, ego atau bahkan senioritas. Ini adalah jalan untuk beradaptasi dengan zaman karena organisasi mendapatkan sebuah mekanisme feedback yang sehat.


V
PENUTUP

“IPNU IPPNU sebagai Arsitek Peradaban”

IPNU IPPNU saat ini sedang ditantang oleh sejarah. Pilihan ada di tangan para kadernya: apakah akan terus menjadi "museum" yang membanggakan kejayaan masa lalu dan sibuk dengan ritual-ritual internalnya, atau bertransformasi menjadi "arsitek peradaban" yang progresif dan relevan?

Menerapkan Fikih Sosial Kiai Sahal Mahfudh bukanlah sebuah pilihan mudah. Ia menuntut keberanian untuk membongkar zona nyaman, merombak tradisi seremonial yang sudah mengakar, dan mulai membiasakan diri dengan budaya literasi dan berpikir kritis yang melelahkan.

Namun, inilah satu-satunya jalan. Fikih Sosial adalah kompas yang ditawarkan oleh seorang ulama besar NU sendiri untuk memastikan NU (dan badan otonomnya) tetap relevan. IPNU IPPNU tidak hanya bertugas mewarisi abu tradisi, tetapi harus berani mengambil api pembaruan dari pemikiran para pendahulunya. Meninggalkan zona nyaman ideologis gitu-gitu aja adalah syarat mutlak agar IPNU IPPNU dapat menjadi agen perubahan yang kritis, teratur, dan adaptif, sesuai dengan amanah Fikih Sosial yang diwariskan Kiai Sahal untuk kemaslahatan umat.

Posting Komentar