Reorientasi Gerakan Pelajar Nu: Menemukan Kembali Arah Juang IPNU-IPPNU di Era Globalisasi oleh Tria Feri Ardona (IPNU Ranting Desa Tulakan III)

Table of Contents

Pendahuluan

Era digital telah membentuk lanskap baru bagi kehidupan manusia yang ditandai oleh lompatan teknologi, perubahan sosial yang dinamis, serta pergeseran nilai yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak generasi muda. Dalam situasi seperti ini, pelajar Nahdlatul Ulama (NU) menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), dua organisasi yang sejak awal berdiri sebagai wadah kaderisasi dan pembinaan pelajar NU, kini berada di persimpangan penting; antara mempertahankan idealisme perjuangan atau menyesuaikan diri dengan realitas pragmatis zaman digital. Padahal, IPNU-IPPNU tidak hanya bertugas melahirkan pelajar yang pandai berbicara di forum, tetapi juga membentuk generasi yang berilmu, beradab, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Fenomena sekarang, banyak kader muda yang lebih akrab dengan algoritma media sosial dibanding makna kitab kuning, lebih sibuk mengatur estetika konten daripada menghidupkan tradisi intelektual pesantren. Pergeseran ini tentu bukan sekadar masalah gaya hidup, tetapi menyentuh inti dari proses kaderisasi itu sendiri: apakah IPNU-IPPNU hari ini masih berfungsi sebagai wadah pembentukan pelajar NU yang berpikir kritis, berakhlak mulia, dan siap mengabdi pada masyarakat?. Pertanyaan ini penting untuk direnungkan, karena dari sanalah kita bisa menilai seberapa jauh organisasi ini tetap setia pada misinya di tengah derasnya arus digital.

IPNU-IPPNU perlu menata kembali arah gerak dan semangat perjuangannya agar tidak hanya sekedar exist di tengah zaman, tetapi juga relevan dan berpengaruh. Reorientasi ini bukan berarti meninggalkan tradisi lama, melainkan menyesuaikan nilai-nilai luhur Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dengan konteks kekinian. Kader harus mampu memadukan semangat klasik pesantren yang menekankan ilmu dan adab dengan kemampuan adaptif terhadap teknologi dan tantangan global. Dengan begitu, IPNU-IPPNU dapat kembali menjadi ruang belajar yang membentuk karakter, memperkuat intelektualitas, serta menumbuhkan semangat khidmah yang sejati di hati setiap pelajarnya.

Pembahasan

Gambar 1. Dawuh K.H. Hasyim Asy‘ari
Sumber: facebook.com



Reorientasi bukan hanya sekedar kata yang indah didengar, tetapi langkah nyata untuk menata ulang arah dan cara berpikir organisasi agar lebih relevan dengan zaman. Bagi IPNU-IPPNU, reorientasi berarti memperbarui cara kader berpikir, belajar, dan berjuang tanpa melupakan nilai-nilai dasar Nahdlatul Ulama (NU). Dunia pelajar hari ini hidup dalam arus globalisasi dan digitalisasi yang sangat cepat. Karena itu, kaderisasi harus mampu menjembatani nilai-nilai lama yang penuh kearifan dengan tantangan baru yang serba digital dan dinamis.

Secara umum, ada tiga arah utama dalam proses reorientasi yang perlu dikembangkan oleh IPNU-IPPNU:

1. Kaderisasi Intelektual dan Literasi Digital

Pelajar IPNU-IPPNU perlu diarahkan untuk menjadi digital santri, generasi yang menggunakan teknologi bukan sekadar untuk hiburan, tetapi sebagai sarana belajar, berdakwah, dan berinovasi. Literasi digital menjadi keahlian penting abad ke-21, sebagaimana ditegaskan oleh UNESCO bahwa kemampuan berpikir kritis dan memahami informasi digital merupakan kompetensi utama generasi masa depan. Dalam konteks ini, kader IPNU-IPPNU perlu dibekali kemampuan untuk memfilter informasi, memahami algoritma media sosial, serta mampu menanggapi isu-isu keagamaan di dunia maya secara bijak.

Melalui pelatihan media, penulisan, dan riset sederhana, kader dapat menjadi pelajar yang tidak hanya aktif di dunia nyata, tetapi juga produktif di ruang digital. Misalnya, membuat konten dakwah santai di TikTok, menulis opini keislaman di blog, atau membangun komunitas literasi di sekolah dan pesantren. Dengan begitu, IPNU-IPPNU tidak hanya melahirkan aktivis organisasi, tetapi juga intelektual muda NU yang melek teknologi dan berpikir kritis.

2. Kaderisasi Sosial dan Kepemimpinan Kontekstual

Kaderisasi IPNU-IPPNU juga perlu diarahkan pada penguatan karakter sosial. Artinya, kader harus punya kepekaan terhadap masalah-masalah masyarakat di sekitarnya, seperti isu pendidikan, lingkungan, kesehatan mental, dan kemanusiaan. Dalam era digital, ukuran kepemimpinan tidak lagi hanya ditentukan oleh jabatan struktural, melainkan juga dari sejauh mana seseorang mampu memberi pengaruh positif.

Karenanya, kaderisasi baru perlu membentuk pelajar yang siap menjadi pemimpin dimanapun mereka berada, baik di ruang sekolah, masyarakat, maupun media sosial. Kepemimpinan kontekstual ini mengajarkan kader untuk tidak hanya fokus pada kegiatan seremonial organisasi, tetapi juga turun langsung melakukan aksi sosial seperti gerakan peduli sampah, kampanye literasi, atau advokasi kebijakan pendidikan di tingkat lokal.

3. Kaderisasi Spiritual dan Kultural

Aspek spiritual dan kultural tetap harus menjadi napas utama dalam reorientasi. IPNU-IPPNU berbeda dari organisasi pelajar lainnya karena berakar kuat pada nilai-nilai Aswaja (Ahlussunnah wal Jama‘ah). Tradisi seperti tahlilan, manaqiban, mengaji kitab, dan shalawatan tidak boleh dianggap kuno, justru harus dihidupkan dengan cara-cara baru yang lebih segar.

Misalnya, membuat podcast ngaji online, kajian interaktif di Youtube, atau kelas Aswaja digital yang mudah diakses oleh pelajar di berbagai daerah. Dengan demikian, nilai spiritual tidak hilang, melainkan dikemas sesuai kebutuhan zaman. Sebagaimana dikatakan KH. Hasyim Asy‘ari, “Ilmu tanpa adab seperti api tanpa cahaya.” Artinya, secerdas apapun kader muda NU, jika tidak memiliki adab dan spiritualitas, maka perjuangan mereka akan kehilangan arah.

Penutup

Reorientasi IPNU-IPPNU di abad ke-21 bukan sekadar soal menyesuaikan diri dengan zaman, tetapi tentang menghidupkan kembali semangat lama dengan cara baru yang relevan. Dalam situasi seperti ini, kader IPNU-IPPNU harus mampu meneguhkan kembali identitasnya sebagai pelajar yang berpikir dengan ilmu dan bergerak dengan adab. Nilai khidmah, semangat mengabdi tanpa pamrih, perlu diterjemahkan ulang dalam konteks kekinian, bukan hanya lewat forum atau kegiatan formal, tapi juga melalui kehadiran aktif di ruang-ruang digital yang menebar nilai keislaman dan kemanusiaan.

Lebih dari sekadar organisasi, IPNU-IPPNU seharusnya menjadi “rumah peradaban” bagi pelajar Nahdlatul Ulama. Tantangan pelajar masa kini tidak lagi sebatas akademik, tetapi juga moral dan eksistensial. Maka, kader IPNU-IPPNU dituntut untuk menjadi pelajar yang tahan terhadap arus pragmatisme, tidak terjebak dalam euforia konten digital, dan tetap berpegang pada nilai Aswaja yang moderat, inklusif, dan penuh kasih. Di tengah budaya instan dan pencitraan, kader sejati adalah mereka yang konsisten belajar, berjuang, dan mengabdi, meski tak selalu tampak di panggung depan.

Ketika kader mampu menyalakan semangat ilmu, menjaga etika digital, dan menyebarkan Islam yang damai di tengah masyarakat, maka disanalah IPNU-IPPNU benar-benar hidup. Sebab, menjadi kader bukan hanya tentang mengenakan jas hijau atau kerudung biru, tetapi tentang menjadi pelajar yang membawa cahaya ilmu dan adab di tengah gelapnya zaman. Dunia boleh berubah cepat, tapi tugas pelajar NU tetap sama: menjaga peradaban, memperluas manfaat, dan juga sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Posting Komentar